Pada akhirnya di Indonesia Melayu
dikenal sebagai salah satu suku bangsa yang berada di pesisir pantai. Melayu
juga sering dikaitkan dengan Islam sehingga jika dikatakan Melayu maka seseorang
tersebut digolongkan beragama Islam. Para Antropolog juga memberikan defenisi
bahwa Melayu adalah orang yang hidup di pesisir pantai yang umumnya memiliki
profesi sebagai nelayan ataupun pedagang yang menggunakan jalur laut dalam
bisnisnya. Oleh karenanya masyarakat Melayu dikenal sebagai pekerja yang
mandiri dan bersahabat dengan alam semesta di kehidupan sehari-harinya.
Kemudian entah dari
mana lahir stigma mengatakan bahwa suku Melayu identik dengan kata “Pemalas”.
Secara sederhana Pemalas diartikan sebagai orang yang tidak mau bekerja, suka
duduk santai bahkan tidak mau sama sekali berusaha untuk menggapai sesuatu yang
diinginkan. Berbagai istilah bermunculan atas stigma tersebut dan bahkan keluar
sebuah isitilah “kojo sibu, tak kojo lima atus, kojo tak kojo sibu lima atus”.
Ungkapan tersebut mengandung makna bahwa lebih bagus tidak kerja daripada
kerja.
Dalam tulisan yang amat
sederhana ini penulis ingin membuka rahasia masyarakat Melayu yang mungkin
belum disadari oleh banyak orang. Menurut hemat penulis masyarakat Melayu
bukanlah masyarakat yang Pemalas bahkan masyarakat Melayu adalah masyarakat
yang berjuang keras, pemberani dan rela berkorban demi kepentingan orang lain.
Faktanya adalah dari dahulu hingga hari ini masyarakat Melayu banyak
mempertaruhkan nyawanya di lautan yang begitu luas untuk menangkap ikan dan
akhirnya ikan tersebut dinikmati oleh berbagai suku bangsa di negeri ini.
Lautan yang seolah tak bertepi, ombak besar dan angin yang tak henti menerpa
para nelayan memberikan bukti bahwa masyarakat Melayu adalah berjiwa pemberani
dan pejuang yang begitu tangguh demi untuk mempertahankan kehidupan diri,
keluarga dan orang lain yang menikmati. Sehingga jika ada orang Melayu yang
malas maka tidak dapat dihukumkan dan dikeluarkan stigma secara umum dengan
mengatakan Melayu Pemalas. Semua suku mengajarkan kebaikan melalui adat
istiadat, semua suku memiliki konsep simbol kesuksesan.
Di zaman modern ini
banyak orang Melayu yang tampil di berbagai posisi, misalnya sebagai pejabat
publik, sebagai penceramah, ulama, akademisi, politisi dan sebagainya. Posisi
tersebut adalah posisi yang harus melalui proses panjang yang penuh dengan
kegigihan untuk mencapainya dan seandainya kata “Pemalas” tersebut menjadi
stigma bagi Melayu maka tidak mungkin orang Melayu dapat menempati posisi
penting tersebut. Intinya adalah tidak ada suku yang paling rajin, tidak ada
suku yang paling malas yang ada hanyalah pembentukan karakter dan mental yang
belum terbangun secara utuh.
Comments
Post a Comment